Oleh Amatus Bhela
Masalah korupsi di Indonesia menjadi momok yang meresahkan. Berita tentang kasus korupsi tidak pernah sepi tersaji dalam berbagai media, baik media cetak, elektronik, maupun media sosial (medsos). Mirisnya, dana yang ditilep jumlahnya fantastis, mulai dari ratusan juta hingga triliunan rupiah. Pada sisi lain, para pelaku (koruptor), yang masih berstatus terduga maupun terdakwa adalah oknum pejabat publik dari kalangan eksekutif, yudikatif, legislatif, mulai tingkat terendah hingga pejabat tinggi. Selain itu, ada oknum berasal dari ruang lingkup pengusaha, dunia pendidikan (guru, kepala sekolah, dosen, bahkan profesor).
Pemerintah sesungguhnya telah berusaha meminimalisir dan melakukan aksi pencegahan tindakan korupsi. Ini diwujudnyatakan dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk lewat undang-undang nomr 30 Tahun 2002. Kemudian direvisi menjadi undang-undang nomor 19 Tahun 2019, tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 30 tahun 2002. Pertanyaannya: Mengapa penyelewengan keuangan negara masih terus marak terjadi? Apakah KPK tidak cukup kredibel sebagai lembaga anti rasuah di negara kita?
Masyarakat tentu sangat dirugikan oleh tindakan tak terpuji para (oknum) koruptor. Mereka mengambil apa yang bukan menjadi haknya, demi memperkaya diri atau kelompok, dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Sementara di hadapan mata kita, puluhan juta rakyat masih hidup di bawah garis kelayakan. Banyak anak-anak terlantar, putus sekolah akibat kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Sementara mereka (koruptor) sesungguhnya hidup berkecukupan, berstatus sosial mumpuni, masih berhastrat untuk mengeruk uang milik negara yang sepantasnya diperuntukan bagi kepentingan rakyat. Fakta seperti ini, tentu sangat melukai nurani kita, apa lagi orang-orang kecil dan terpinggirkan.
Apa mau dikata! Ternyata hukuman yang dikenakan kepada para koruptor, selama ini tidak berdampak signifikan untuk mencegah tindakan koruptif di tengah para elite. Dari waktu ke watu, dari rezim ke rezim, masih saja terjadi penyalahgunaan wewenang untuk mengambil uang rakyat. Coba kita bayangkan, sudah banyak koruptor dijebloskan ke bui selama kurun waktu tertentu, bahkan ada yang mendekam seumur hidupnya. Tindakan menghukum para koruptor telah dilakukan. Sosialisasi pencerahan dan pencegahan korupsi sudah dan terus dilakukan. Namun, kelakuan oknum tidak bertanggung jawab “mengambil” uang rakyat masih marak terjadi. Jika demikian, tentu ada masalah yang mengakar dalam pribadi koruptor. Salah satu permasalahannya terletak pada lemahnya integritas pribadi. Oleh karena itu, integritas kepribadian, khususnya para pejabat publik dan mereka yang berpotensi mengelola keuangan dan anggaran negara patut digugat.
Pribadi berintegritas adalah sosok yang memiliki potensi dan kapasitas untuk memancarkan kewibawaan dan kejujuran dalam mengelola sebuah instansi atau organisasi. Gambaran seperti ini, dapat terbaca dari perilaku dan tindakan sehari-hari. Ada konsistensi antara ucapan,keyakinan, serta tindakan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pribadi berintegritas tinggi harus terbentuk sejak dini. Salah satunya ialah lewat pendidikan formal maupun penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang diperoleh dalam keluarga. Sangat paradoks, ketika kita menyaksikan penampilan para koruptor. Dalam keseharian mereka terkesan seperti profil bersahaja. Selain itu, mereka juga adalah orang-orang terdidik ( berpendidikan tinggi), mapan dalam karier dan berkecukupan dari aspek ekonomi. Sangat disayangkan, mereka akhirnya terjerumus juga dalam kubangan penyelewengan keuangan yang namanya korupsi.
Saya dan pembaca tentu prihatin, ketika membaca sebuah artikel (Kbanews, 11 Juni 2023), mengutip pernyataan mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua, soal korupsi di negara kita. Menurut beliau, ada dua cara untuk melawan korupsi di negeri ini. Pertama,memperbaiki sistem pendidikan nasional. Kedua adalah reformasi birokrasi. Dikatakan, bahwa dari 1.353 orang yang ditangkap KPK sejak tahun 2004 hingga sekarang, 86 persen adalah sarjana, terdiri dari jenjang S1,S2,S3 dan guru besar. Mayoritasnya adalah S2. Ditegaskannya dalam artikel itu, secara statistik pendidikan kita melahirkan koruptor. Sementara Mahmud MD, Menkopolhukam, dikutip (Kompas.com 12 Juni 2023) menyebut, 87 persen koruptor di Indonesia adalah sarjana.
Apa yang disampaikan Hehamahua dan Mahmud M.D, tentunya menampar wajah pendidikan nasional kita. Bayangkan, sudah sekian kalinya sistem pendidikan kita berubah dari rezim ke rezim, seiring dengan pembaharuan kurikulum. Alat ukur kualitas out put pendidikan nasional juga berubah. Namun, antara out put dan out come yang terlahir dari rahim pendidikan nasional, terkesan belum memberikan rasa puas bagi masarakat kita, seperti apa yang diungkapkan kedua tokoh di atas.
Yang dimaksudkan dengan out put adalah hasil yang diperoleh langsung dari sebuah lembaga penyelengggara, setelah seseorang menyelesaikan masa belajarnya. Sedangkan out come adalah dampak lanjutan dari proses pendidikan yang pernah dilalui, hingga seseorang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, atau berprestasi dalam kehidupan, dalam dunia kerja, berpenghasilan memadai, bahkan menyentuh hingga prestise atau status sosial, kehormatan, kewibawaan, dan kedudukan sebagai individu.
Dalam konteks permasalahan korupsi yang masih marak di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, ungkapan ketidak puasan seorang Hehamahua, berkaitan dengan dunia pendidikan tentunya mewakili perasaan saya, Anda, kita semua sebagai warga masyarakat Indonesia. Kita perlu mengintrospeksi diri, apakah pendidikan kita masih berorientasi pada lembaran ijasah dan mengagungkan gelar akademik. Apa iya, ruang belajar pendidikan kita, belum serius menyentuh hakekat pendidikan sesungguhnya yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang ideal. Artinya, si pembelajar secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya, memiliki kemampuan spritual (nilai kegamaan, moral dan etika), pengendalaian diri, berkepribadian dan berkarakter, cerdas, berakhlak mulia, serta berketrapilan yang menunjang kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Kembali pada pokok permasalahan, pendidikan dikaitkan dengan oknum koruptor yang mayoritasnya adalah “kaum terdidik”. Bagi saya, ada kelemahan mendasar ketika para elite dan pejabat publik tidak memiliki kecerdasan intuitif ( intelegence Existence). Tidak berarti mengabaikan kecerdasa intelektual (IQ), kecerdasan emosioal (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan Intuitif berhubungan erat dengan bisikan hati nurani yang bersifat intuisi yakni kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan sebelumnya atau dipelajari. Mereka yang memiliki kecerdasan intuitif, mempunyai tingkat insting yang baik, mengetahui sesuatu yang benar dan salah. Hal ini muncul melalui perasaan dan bisikan suara hati dalam diri setiap individu. (bdk. Teuf, 2018:104). Dengan kata lain, kemampuan intuisi merupakan bisikan penuntun bagi seseorang untuk membedakan mana yang baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan mudarat. Maka ada ungkapan yang sangat berkesan dan mengena” mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan yang sesungguhnya”.
Akibat pengabaian terhadap kecerdasan intuisi inilah, membuat seseorang lupa daratan dan “lupa ingatan”, bahwa korupsi adalah tindakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Perilaku koruptif yang dimainkan secara tersembunyi dibalik skenario manipulatif, ternyata dapat terbaca dan terbongkar ke ruang publik. Konsekwensi lanjutan, mereka (koruptor) harus berhadapan dengan hukum. Ruang tahanan berjeruji besi, menjadi tempat permenungan, walau batin tersiksa dan tersakiti. Semoga ada penyesalan yang mendalam dan metanoia !!